Kamis, 13 Oktober 2011

Saya ga Spesial, tapi Saya Istimewa

“Hebat…!! Kamu hebat..!!” seruku hampir berteriak, saat muridku berhasil mendapat nilai 5. Yak!! Nilai 5 untuk skala 10.

Eits.. jangan bingung dulu, saya lanjutkan ceritanya.. Kejadian itu kira-kira 5-6 tahun yang lalu, saat saya masih mengajar les privat. Dan murid saya itu adalah murid “istimewa” yang jika bukan karena keteguhan hati ibunya mungkin ga akan bertahan di Sekolah Negeri untuk siswa normal. Murid saya ini agak terbelakang, jadi saya harus punya hati ekstra sabar, namun dengan harapan besar untuk keberhasilannya.

Nah, sekarang tahu kan… kenapa saya begitu takjub dan bangganya ketika murid saya ini “hanya” meraih nilai 5. Karena saya tahu persis bagaimana dia berusaha ekstra keras menghafal perkalian sederhana yang bagi teman-teman sekelasnya sudah hafal di luar kepala.

Saya tidak bisa membuat target yang sama untuk setiap murid les saya. Saya tidak bisa mengejar dan mendorong mereka semua meraih nilai gemilang, karena gemilang buat mereka punya arti spesifik, berbeda untuk tiap individunya. Untuk murid A saya berharap dia bisa naik kelas. Untuk murid B, saya akan puas jika dia bisa belajar mandiri. Untuk murid C mungkin saya baru bisa lega jika dia menduduki peringkat pertama.

Bagi saya, belajar progresif itu yang utama. Mereka harus jadi lebih baik dan berkembang dari sebelumnya. Itulah yang saya sebut bertumbuh, yang saya anggap keberhasilan bagi murid-murid saya. Targetnya berbeda, tapi mereka sama-sama mengalami perbaikan dari kondisi sebelumnya.

Tiap anak berbeda, enggak semuanya bintang dan juara. Mungkin di kelas mereka biasa-biasa saja. Beberapa bahkan tak banyak yang kenal, di mata teman sekelasnya mereka nggak spesial. Tapi di mata saya mereka istimewa. Kenapa? Karena Tuhan mempercayakan mereka untuk saya dampingi dengan kasih dari Dia.

Dan ketika saya melihat mereka sebagai makhluk istimewa, tanpa sadar saya menanamkan keyakinan bahwa mereka bisa asal mau berusaha. Dan itu membuat mereka mengalami pertumbuhan progresif, keberhasilan dan kesuksesan.

Kita yang “normal” terkadang pun mengalami degradasi optimisme dan mendadak merasa jauh dari spesial. Ada saat kita merasa sungguh kerdil, tak berani menegakkan dagu, minder, dan merasa bukan siapa-siapa. Saat ga bisa meraih nilai cemerlang. Merasa diremehkan dalam dunia professional. Merasa tak mampu menempati bagian spesial dari hati pasangan. Merasa bukan anak kebanggaan orangtua. Merasa bukan siapa-siapa.

Sadar ga, itu semua mungkin yang dirasakan murid-murid “istimewa” saya. Dan jika Anda sedang mengalaminya, tanamkan kuat-kuat dalam hati dan pikiran, bahwa Anda istimewa. Kita ga bisa jadi juara, kita hanya nomor dua, kita tersisih, kita mungkin merasa perih.. tapi bantulah diri Anda dengan secuil kepercayaan diri, karena setiap manusia dicipta istimewa.

Rabu, 17 Agustus 2011

Jangan Seratus Persen

Kakek saya pernah berpesan, jika bepergian sebaiknya uang disimpan di beberapa tempat, misalnya di saku celana depan kita taruh sebagian, begitu juga di saku celana belakang, lalu beberapa lagi disimpan di saku jaket atau kemeja, bagian yang lain disimpan di kantong tas, dan sisanya tetap ada di dompet kita. Mengapa? Katanya, kita ga pernah tahu halangan orang di jalan, siapa tau waktu berdesak-desakan isi kantong kita terjatuh, siapa tahu ada copet berniat jahat mengambil dompet kita, siapa tahu… siapa tahu..

Pesan kakek itu selalu saya terapkan setiap melakukan perjalanan jauh, dan rasanya lebih aman. Tidak was-was. Kalaupun ada peristiwa yang menyebabkan duit saya hilang, saya tetap tenang, karena saya tidak kehilangan semuanya, saya masih memiliki duit di beberapa tempat lain. Meskipun belum pernah kejadian kehilangan uang, namun perasaan tenang sepanjang perjalanan membuat saya menikmati perjalanan itu.

Saya baru nyadar, bahwa sebenarnya kakek tidak sekedar memberi pesan untuk perjalanan dalam arti yang sebenarnya. Jauh lebih dalam ketika saya renungkan, pelajaran itu juga berlaku dalam perjalanan kehidupan kita.

Pelajarannya adalah, jangan menaruh utuh dari seluruh harapan, perhatian, pikiran dan hidup kita hanya di satu tempat, di satu sisi kehidupan kita. Karena ketika kita kehilangan bagian itu, kita tidak menyediakan rasa syukur karena masih memiliki bagian lainnya.

Seperti halnya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, selalu ada kemungkinan terjadi hal-hal di luar kendali kita, demikian juga perjalanan hidup kita, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Ada saat-saat dalam perjalanan hidup, kita mengalami kehilangan. Dan di bagian mana kita kehilangan? Sekali lagi who knows, misteri ilahi.

Ketika seseorang meletakkan focus hidupnya, misal pada karir saja, 100% karir, totalitas karir. Dan di bagian itu Sang Maha Kuasa mengambilnya, apa yang terjadi? Frustrasi? Stres tingkat tinggi? Kehilangan kendali? Atau mencoba mati?

Sayang sekali, padahal masih banyak hal-hal yang bisa dinikmati sebagai rejeki, kalau saja focus hidupnya tidak 100% hanya pada satu sisi. Mungkin bukan karir, sisi itu bisa saja keluarga, cinta, lingkungan, agama, apa pun. Seratus persen itu tak baik kalau hanya dilimpahkan di satu sisi hidup, dengan mengabaikan sisi lainnya. Bagilah pikiran, perhatian, waktu, dan energy untuk tiap bagian sesuai porsinya. Dan kerjakan bagian itu sepenuh hati, sambil menjaga keseimbangan dengan bagian lainnya. Cara itu lebih efektif dalam memaknai dan mensyukuri perjalanan hidup yang sudah pasti sulit ditebak ini. Jangan seratus persen, tapi kerjakan dengan sepenuh hati.

Kamis, 02 Juni 2011

Kosong Itu Isi

Siang ini puanaaass… Ya, lebay, atau memang suhu udara ibukota pantas saya nilai dengan panas yang teramat. Baru berasa mungkin karena ini hari libur. Beberapa orang mengeluhkan cuaca ini, termasuk saya, tadinya. Mana enak sih di kost-an sendirian, ga ada asyiknya.. Mau keluar, hadeehh… kebayang jadi potongan daging yang menggeliat di atas panggangan barbekyu… lebay lagi dah... Akhirnya beberapa pilihan yang pertama kali meintas adalah : tidur, atau tidur, atau… tidur...

Haha.. tidur memang sempet mampir di otak saya, paling mudah malah untuk dipikirkan. Untungnya segera digantikan pemikiran anti-malas lainnya. Saya berpikir, manusia ini emang lebih mudah mengeluh, apa pun keadaannya. Saya coba membayangkan, kalau siang ini hujan deras… apa yang ada di pikiran kalian? Sama aja, kan.. liburan kok hujan, ga bisa kemana-mana, dan akhirnya.. tiduurr…

Lalu apa bedanya, panas atau tidak ada panas.. Semua itu tergantung sama isi otak kita. Dan saya mulai mengisi otak saya dengan pemikiran : kalau tidak ada panas, apa yang saya rindukan untuk dilakukan… Aha.. saya baru ingat niat saya untuk mencuci sepatu olahraga yang sudah sejak lama urung dilakukan, gara-gara hujan terus-terusan. Nah, ini saatnya..

Saya bangkit, dan mengisi waktu-waktu yang suhunya bikin keringat menetes disana-sini dengan hal-hal yang tidak bisa saya lakukan kalau matahari tidak bersinar terik seperti sekarang. Mencuci sepatu, menjemur bantal-bantal, membuka pintu kamar lebar-lebar untuk mengusir lembab, hmmm…mungkin baru itu. Tapi setidaknya saya mengisinya bukan dengan kemalasan, kan?

Waktu itu terus berjalan. Saya tidur atau saya mencuci sepatu, sore juga akan datang, terik itu akan berkurang, dan panas, berganti sepoinya udara senja. Tapi apa yang saya pilih untuk saya kerjakan saat sang mentari bekerja giat mengirim panasnya, menentukan apa yang saya dapatkan di saat menikmati senja. Tidur membuat saya kesulitan memejamkan mata nanti malam. Mencuci sepatu dan beraktifitas menghasilkan sepatu bersih yang menambah semangat berolahraga.

Dalam perjalanan hidup kita, ada saat-saat kita harus melewati lobang, jalan yang tidak rata, rute yang tidak menyenangkan, area yang tidak nyaman. Dan kita lebih sering memilih untuk berhenti, mengeluh, menangis, dan mengutuki perjalanan itu (ups..ekstrimkah pilihan kata saya..?)

Fokus kita hanya tertuju pada lobang, kerikil, atau perjalanan yang ga nyaman itu. Padahal nyaman atau tidaknya perjalanan hidup kita hanya dibatasi oleh kreatifitas otak kita memikirkan hal indah yang menanti kita di ujung jalan sana. Kalau kita tetap berjalan, entah itu dengan keadaan nyaman atau tersiksa, kita akan sampai di ujung yang sama. So, kenapa kita masih mengisi waktu-waktu sulit itu dengan mengeluh? Tetaplah berjalan… biarlah kaki kita melewati lobang, kerikil dan jalan tidak nyaman itu, tapi mata kita menikmati indahnya semak dan rerumputan di depan sana…

Saat perjalanan hidupmu melewati lobang, jangan biarkan dia hanya jadi lobang kosong yang kamu sesali nantinya. Isilah masa-masa sulit yang harus kamu lalui dengan hal-hal yang menambah kualitas hidupmu. Kosong itu masih bisa jadi isi, kok.. Keep on fire!!