Kamis, 20 Agustus 2009

Rumput tetangga lebih hijau, dan rumputku lebih keren.

Rumput tetangga lebih hijau, dan rumputku lebih keren.

Pepatah baru? Bukan. Peribahasa yang baru ditemukan? Juga bukan. Puisinya pujangga? Bukan. Salah tulis? Apalagi, bukan. Yah, cuma sekedar penghiburan atau lebih tepatnya perangsang pe-de. Siapa bilang rumput yang hijau itu yang terbaik? Rumput yang unik, yang nggak sama dengan rumput-rumput lain, yang menarik perhatian, itu yang keren, dan rumput itu nggak harus menjadi rumput yang hijau. Bisa aja dia menjadi rumput yang kuning, tapi rapi, atau rumput yang mulai kering, tapi justru menjadi hiasan yang sangat klasik dan eksotik.

Tapi, kalian tau donk, kalo sebenarnya aku nggak lagi pengen ngomongin soal rumput. Aku bukan pakarnya sama sekali. Hah.. ngebersihin halaman aja males. Hihihihi…

Aku ngeliat cewek dengan pakaian yang sangat modis (sambil memperhitungkan kira-kira berapa bulan gaji untuk bisa membeli pakaian seperti itu), ada juga perempuan dengan tubuh & wajah seperti magnet yang bikin orang yang ngelirik ga mau nglepasin pandangan, ada juga wanita dengan karir yang gemilang, berpenghasilan jutaan.

Hmmm.. rasanya pengen aku menjadi wanita-wanita seperti yang kulihat. Masih normal kan? Cowok juga suka kepengen pas ngeliat temen kalian dengan aksesoris gadget yang super mahal, suka ngiler ngelirik mereka punya gandengan yang “cling”, suka ngimpiin ada di belakang setir mobil mewah.

Bukan hal yang aneh lagi kalau manusia punya rasa iri, atau sekedar kepengen ngeliat manusia lain memiliki yang “lebih” dibanding dirinya. Sepertinya “rumput tetangga lebih hijau” sudah identik dan bahkan dipahami sebagai bagian dari kehidupan manusia. Ya wajar aja toh kalo orang memandang orang lain lebih beruntung, lebih sukses, dan lebih bahagia, wong namanya juga manusia, nggak pernah puas.

Akh, kalau menurutku itu sih cuma berlaku bagi manusia yang mau menyandang gelar manusia biasa, aku sih ogaaah… Tawaran yang lebih menarik, lebih menggiurkan buatku, yaitu menjadi manusia luar biasa, hehehe.. maksudnya emang bener seperti pikiranmu, manusia yang nggak normal, nggak masalah kok mikir gitu.

Coba deh kita renungin, luar biasa dan nggak normal itu kan beda tipis. Intinya, mereka yang berani disebut nggak normal adalah mereka yang beda dengan yang lainnya, yang unik, yang pasti akan dikenang.

Kembali ke rumput tetangga tadi, mmmm… sebaiknya kita mulai lebih focus ke rumput kita sendiri aja deh. Daripada melototin rumput tetangga yang pasti bakalan selalu lebih hijau, mending kita mulai mikirin apa yang bisa kita perbuat dengan rumput kita yang udah mulai kuning, yang di beberapa bagian mulai kering.

Maksudnya gini, kita nggak bakal bisa menjadi lebih baik kalau hanya memikirkan kelebihan orang lain. Kalau tiap orang diciptakan unik, jadi mulailah bertanya apa keunikanmu. Mungkin bukan hal yang indah menurut pandangan orang tapi keunikanmu punya potensi untuk menjadi kelebihanmu. Coba kita balajar dari (alm.) Mbah Surip, guru vocal manapun tak mungkin meluluskan murid dengan suara seperti dia, tapi keunikannya yang membuat dia lebih mudah dikenali, istilah dagangnya “menjual”, ada nilai lebih yang membuat orang selalu mengingatnya, yaitu keunikan yang tidak dimiliki orang lain.

Nilai lebih, apa pun itu, mau dari segi fisik atau pemikiran, yang jarang dimiliki orang pada umumnya jika ditonjolkan dengan pas akan menjadi kelebihan kita, bahkan sangat mungkin orang lain yang bakalan iri ngeliat kita.

So, ngapain masih bengong mengagumi hijaunya rumput tetanggamu? Temukan keunikanmu, apa yang bisa kamu perbuat dengan dirimu, dengan rumput keringmu, dan jadilah keren dengan itu.

Kamis, 13 Agustus 2009

The Power of Silent

Kekuatan sesungguhnya bukan pada otot, bukan pula pada otak. Aku memahaminya pagi ini. Saat semua terlelap, hening.. sunyi.. dan aku diam…

Bukan karena tak ada yang dipikirkan. Bukan juga karena terbangun dengan pikiran yang kosong. Justru sebaliknya, terlalu banyak yang ada di otakku dan aku hanya membutuhkan : DIAM..

Mungkin tak seratus persen diam, karena aku membutuhkan bantuan keyboard komputerku sebagai sasaran jari-jariku mengurai pikiranku. Diam membuatku mencerna isi otak dan hatiku. Diam membuatku melihat lebih jernih. Diam dan membiarkan semua mengalir. Diam dan menikmati kediaman itu.

Selama ini kita berpikir, merasakan dan melakukan hal-hal dengan segala keruwetannya. Pengen masalah cepet selesai. Pengen emosi terlampiaskan. Pengen sesak di hati ada yang mendengarkan. Pengen beban pikiran terangkat. Tapi terlalu sibuk memikirkan semua cara. Terlalu repot mencari pelampiasan. Terlalu penuh dengan strategi menemukan jalan keluar.

Padahal mungkin kita hanya butuh DIAM.

DIAM itu tak mudah, tak sama dengan tak bersuara, tak identik dengan tak bergerak.

Diam berarti melepaskan perasaan, membebaskan pikiran. Tak perlu malu untuk menangis. Tak perlu ragu untuk terisak.

Diam berarti membisukan sementara semua logika.

Diam berarti mendengar hatimu.

Diam berarti menelusuri jalan pikiranmu dengan jujur, tak perlu membantahnya dengan argumen-argumen.

Diam berarti menutup mata untuk pandangan orang lain sampai kamu hanya bisa melihat nuranimu.

Diam berarti tak menghiraukan pendapat orang lain selain suara hatimu.

Diam berarti mengenali dirimu seutuhnya, mengerti setiap detil maumu, memahami setiap jengkal pikiranmu, dan merasakan setiap warna perasaanmu.

Diamlah, dan jangan berhenti berdiam sampai kamu akhirnya juga menemukan kekuatan dalam dirimu. Kekuatan terbesar yang bisa kamu harapkan selain dari Yang Maha Kuasa adalah kekuatan dari dalam dirimu. Diam membantumu menemukan kekuatan itu.

Selamat berDIAM…